Sample Text

Life is like a ferris wheel. Sometimes growin up to the sky, sometimes fallin to the ground. But no matter what happened, its always interesting to be enjoyed. Because life is never ending adventure

Senin, 17 September 2012

Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik, Salah Birokrasikah

Senin, 17 September 2012

 Saat ini pelayanan publik di Indonesia masih rendah kualitasnya jika dibandingkan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Inggris, maupun Amerika. Sistem birokrasi adalah salah satu penyebabnya, namun faktor-faktor yang lain seperti kesadaran masyarakat juga turut mempengaruhi.

Tulisan ini akan membandingkan pelayanan publik di Jakarta yang disinyalir masih kurang prima, dengan kota Solo yang dinobatkan oleh media massa sebagai kota dengan pelayanan publik yang cukup prima.

Pelayanan Publik di Jakarta: Masih Minim Meski Dana Lebih Dari Cukup
Saat ini di Jakarta, pelayanan publik yang dilakukan aparat pemerintah masih sangat minim. Masih banyak penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, seperti pungutan liar dan waktu yang lama dalam mengurus dokumen-dokumen tertentu (KTP, SIM atau sertifikattanah), birokrasi yang cenderung berputar-putar dalam pelayanan perizinan, kurang tranparansinya informasi pengadaan barang dan jasa, dan rekruitmen PNS yang masih terindikasi kolusi dan nepotisme.


Persoalan yang membuat citra pelayanan publik jeblok adalah ketentuan tarif layanan yang berbeda antara peraturan dan praktek di lapangan. Misalnya untuk mengurus dokumen tertentu, tarif resmi yang tertulis adalah Rp 100 ribu. Tetapi pada praktenya, masyarakat dibebani biaya yang lebih mahal. Kasus seperti ini ditemukan mulai dari pelayanan kependudukan, izin usaha, pertanahan, kesehatan, hingga pendidikan. Belum lagi sarana transportasi umum yangdinilai sangat tidak layak digunakan masyarakat, baik dari segi kualitas kendaraan, cara mengemudi, kenyamanan, serta keamanannya.

Selain itu, Danang Girindrawardana, ketua Ombudsman menilai bahwa Pemda Provinsi DKI Jakarta juga dinilai gagal dalam memberikan pelayanan publik di sektor-sektor tertentu. Sektor-sektor tersebut antara lain Infrastruktur, transportasi, perhubungan, lingkungan hidup.

Beberapa pelayanan publik yang juga dinilai dibawah standar, yakni pelayanan KUR (Kredit Usaha Rakyat), pelayanan kepengurusan izin SIUP (surat izin usaha perdagangan) di Dinas Koperasi dan UKM; pelayanan KIR di Dinas Perhubungan; pelayanan bus TransJakarta dan beberapa pelayanan publik lainnya, seperti kependudukan di Dinas Dukcapil DKI Jakarta.

Pelayanan lain yang tak kalah minimnya adalah pelayanan kesehatan. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pinggiran (slum area) sangat jauh dari sentuhan pelayanan kesehatan. Padahal anggaran yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta untuk pos kesehatan ini sangat besar yakni mencapai 800 miliar. Nominal yang sangat besar dibanding kota Solo yang hanya menganggarkan 20 miliar namun pelayanannyalebih optimal.

Hal ini sangat ironi mengingat Provinsi DKI Jakarta tidak hanya berdiri sebagai sebuah provinsi, namun jugasebagai ibu kota negara Indonesia.Jakarta malah dinilai sebagai kota yang tertinggal dalam hal pelayanan publiknya dibanding kota-kota lain di Indonesia.

Pelayanan Publik di Solo: Ramah dan Bergairah
Solo dinobatkan sebagai salah satu kota dengan pelayanan publik yang paling prima. Upaya meningkatkan pelayanan publik berhasil dibumikan dan dioperasionalkan menjadi tindakan disana. Jokowi sebagai Walikota Surakarta misalnya mampu melakukan reformasi pelayanan KTP dan Sistem Perizinan Terpadu dari birokrasi yang rumit-tak efektif menjadi prosedur yang sederhana. Bahkan santer beredar kabar di media massa bahwa pasar tradisonal di kota solo sangat bagus gairahnya, tidak seperti pasar-pasar di kota lain yang mengalami kelesuan bahkan nyaris musnah.

Selain itu beberapa saat yang lalu Solo juga mendapat penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri karena mampu menyelesaikan target perekaman e-KTP hingga 100%.

Pelayanan prima yang dimiliki oleh Kota Solo didukung oleh figur Joko Widodo. Ia sering menghabiskan  pekerjaannya di luar kantor. Karena baginya, dengan berada di luar kantor, kepemimpinannya dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. Saat pedagang direlokasi ke tempat yang lebih layak, setiap hari Jokowi selalu datang membawa palu untuk menguji kelayakan bangunan tersebut

Tak jarang Jokowi melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah tempat pelayanan publik, terutama pasca libur besar nasional. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa aparatur pemenrintahan kotanya telah benar-benar siap untuk melayani masyarakat dan tidak mangkir.

Buruknya Pelayanan Publik, Salah Birokrasi kah?

Buruknya pelayanan publik di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kurangnya kontrol pemerintah daerah terhadap kebijakan yang diberlakukan. Hal ini tidak perlu terjadi, apabila ada kemauan serius dari Gubernur Fauzi Bowo untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Selama ini, gubernur hanya mendengarkan laporan dari bawahanya bahwa seluruh pekerjaan telah beres, dan tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.

Selain kurangnya kontrol pemerintah, pola pikir PNS yang masih ingin dilayani menjadi salah satu penyebab buruknya pelayanan publik. Pola PNS yang masih ingin dilayani tersebut memperburuk pelayanan publik walaupun sarana dan prasarana yang tersedia sudah bagus.

Birokrasi sebagai salah satu penyebab rendahnya pelayanan publik tentu bukanlah tanpa alasan.
  • Mayoritas pejabat/ birokrat masih belum memiliki etika yang kuat dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Sehingga pada umumnya para birokrat belum mampu menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa utama yang mempengaruhi nasib diri dan insititusinya. Nasib masyarakat justru masih dipersepsikan bahwa segala tindakannya ditentukan oleh tindakan birokrasi.
  •  nilai-nilai seperti profesionalisme, non-partisan dan kesetaraan yang seharusnya menjadi dasar pengembangan etika pelayanan publik masih amat jauh dari realisasi penyelenggaraan pelayananpublik.
  • birokrasi yang tidak transparan. Berbagai prosedur pelayanan ditambahkan dan bahkan tak jarang biaya-biaya yang tidak terdapat didalam prosedur dimunculkan guna mempercepat proses pelayanan.
Padahal, seperti yang telah kita ketahui, secara filosofis sejatinya birokrasi diciptakan untuk mempermudah pekerjaan atau pelayanan dan bukan malah sebaliknya. Kenyataan semacam ini semakin menegaskan bahwa pelayanan publik masih berorientasi pada konsep masa lalu dimana rakyat masih diposisikan sebagai obyek yang tidak mempunyai hak untuk menuntut. Dengan kata lain, penyedia layanan (birokrat) merasa harus dilayani oleh rakyatnya dan jusru bukan menjadi pelayan bagi rakyatnya.

Terkait hal itu, Sinambela dalam bukunya yang berjudul ; Reformasi Pelayanan Publik (2008:90-91) menyebutkan perspektif perkembangan birokrasi di Indonesia :
  1. Birokrasi pemerintah sejak awal terbiasa dieksploitasi oleh kepentingan politik penguasa.
  2.  Birokrasi pemerintah sepanjang sejarah perkembangannya belum pernah terbiasa memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat.
  3. Birokrasi pemerintah telah terbiasa dengan praktik korupsi, dimana kedudukan dan keahliannya dalam melaksanakan pekerjaan penguasa dianggap sebagai peluang untuk mengeksploitasi sumber ekonomi yang menguntungkan dirinya.
  4. Birokrasi pemerintah sepanjang perkembangannya terbiasa jauh dari kontrol rakyat/ publik atau lembaga lain di luar birokrasi.
  5.  Birokrasi pemerintah sejak awal memang telah terbiasa tidak bisa bersikap netral dari kepentingan politik penguasa.

SOLUSI

Dari kasus-kasus diatas jelas dapat ditarik benang merah bahwa birokrasi senantiasa menggunakan pola patrimonial/ tradisional yang mengikuti atau mengekor kepada pimpinan yang sedang berkuasa alias penguasa. Melalui otorita tradisional yang dimilikinya, pimpinan atau penguasa, dianggap akan memiliki legitimasi bila semakin banyak masyarakat/ rakyat menuangkan loyalitas pribadinya kepada penguasanya. Dan oleh karenanya, kemudian pemimpin dianggap memiliki posisi tertinggi sehingga semua kebijakannya harus dipatuhi tanpa boleh ditentang oleh bawahannya. Asumsi mendasar inilah yang memperlihatkan hubungan kepemimpinan dengan birokrasi di Indonesia.

Sebagai solusinya, perlu ditanamkankembali kepada PNS mengenai apa itu hakikat penjadi seorang PNS yang sejatinya merupakan pelayan bagi masyarakat. Selain itu perlu ditanamkan etika dan profesionalisme PNS sehingga pelayanan kepada masyarakat semakin prima.

17 September 2012.
Semoga kelak, jika telah menjadi bagian dari abdi masyarakat, dapat sepenuhnya mengabdi.

1 komentar:

Deni Surahman Widyaiswara Ahli mengatakan...

Terima kasih informasi dan berbagi ilmu... mohon ijin bu Muamaroh Husnantiya tulisannya menjadi bahan referensi.

Posting Komentar

Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^