Tulisan ini dibuat pada 29 Januari 2012, untuk memenuhi
tugas akhir mata kuliah Keuangan Publik
Saat itu, isu yang sedang santer beredar adalah kritisasi mengenai kebijakan impor garam. Saya ingin mempublikasikan kembali bahasan mengenai hal ini,
sekaligus menggumamkan, betapa mudahnya suatu isu tenggelam ditelan isu yang
lainnya.
Era globalisasi membawa
gelombang perubahan dinamis dengan daya paksa tinggi. Mau tidak mau setiap
negara dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan itu. Siapa yang
tidak dapat beradaptasi, ia akan dihantam oleh gelombang perubahan itu sendiri.
Dunia berubah seiring waktu yang berjalan, negara-negara saling bergantian
memasuki fase yang berbeda dalam gelombang konjungtur ekonomi. Silih berganti
dari masa ke masa, dari negara satu ke negara lain.
Pada era sebelumnya,
sebuah negara—sangat dimungkinan—dapat membatasi jumlah barang dan jasa impor
dari luar negeri dengan cara pengenaan pajak, kuota impor, bea dan cukai,
maupun dengan peraturan lain. Namun kini, ketika era pasar bebas dimulai,
batasan antar negara yang dulunya ada kini seolah menjadi lenyap. Batas itu
hanyalah sebagai batas teritori hukum, dimana pada realitanya batas itu tidak
ada. Orang, barang, dan jasa dari suatu
negara dapat dengan mudahnya berpindah dari satu negara ke negara lain.
Beberapa waktu lalu,
Presiden SBY selaku pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi menyetujui
kebijakan legalisasi impor garam. Reaksi yang berlebihan muncul dikalangan DPR.
Mereka menyatakan bahwa hal tersebut akan mematikan petani-petani garam lokal.
Sebagai imbas dari orasi salah satu anggota DPR tersebut, para grassroot perekonomian Indonesia yang
terdiri dari rakyat kecil dan petani garam terhantam gelombang ketakutan yang
sebetulnya tidak perlu ditakutkan. Anggota DPR dengan argumennya yang
meyakinkan—namun tanpa dasar—berusaha meyakinkan ribuan rakyat Indonesia bahwa
seharusnya presiden tindak membiarkan garam produksi luar negeri masuk ke
Indonesia.
Salah satu stasiun
televisi swasta tanpa mempedulikan netralitasnya sebagai insan jurnalis,
terpengaruh opini DPR dan turut serta memojokkan pemerintah. Sebagai dampaknya,
ribuan rakyat indonesia—tanpa didasari bekal pengetahuan yang cukup—ikut
menyudutkan pemerintah. “Pemerintah adalah wakil rakyat tetpi tidak pro
rakyat”, kalimat iulah yang menjadi senjata utama.
Di berbagai harian
rakyat, baik media cetak maupun online, puluhan artikel bertajuk kebijakanimpor garam ini silih berganti menghiasi halaman utama. Baik artikel yang beraroma
mendukung maupun yang mencerca kebijakan impor garam ini. Kedua belah pihak
memiliki argumen masing-masing dalam mempertahankan pendapatnya mengenai
kebijakan kontroversial ini.