Sebuah akhir tak lengkap tanpa sebuah awal. Sebuah akhir tanpa awal seperti menemukan seseorang yang tiba-tiba saja telah dewasa tanpa pernah menjadi kanak-kanak, sangat aneh dan sulit dimengerti. Seperti juga ketika sampai pada sebuah akhir perjuangan, tak mungkin ada tanpa permulaan ketika perjuangan itu dimulai. Begitu juga dengan kelulusan Ujian Nasional, tak lengkap tanpa cerita tentang bagaimana kami memulainya, menjalaninya, dan bagaimana kami memperjuangkannya. Karena yang kita alami pada kehidupan ini pada dasarnya adalah perjuangan yang terdiri dari sebuah awal, perjalanan, dan sebuah akhir. Akhir akan menjadi awal suatu perjuangan yang baru. Begitulah takdir terus berputar bersama sang waktu.
Saat ini aku telah berada di Bandung untuk mempersiapkan studi lanjutku. Masih teringat jelas dalam memoriku, jalan yang harus ku tempuh untuk mencapai titik kemenangan sementara ini. Titik kemenangan dimana aku dapat lulus Ujian Nasional dan diterima di salah satu perguruan tinggi. Masih terbayang jelas di benakku, hari-hari yang kujalani pada tahun ke-tiga di almamaterku yang tercinta. Awal tahun, sebuah perjuangan untuk beradaptasi dengan kelas baru, teman baru, dan guru baru. Keberadaan sahabat dan teman-teman membuatku optimis dalam menghadapi beratnya tahun ke-tigaku ini. Aku dan teman-temanku harus belajar di sela-sela tugas yang menumpuk, menjalani bimbingan belajar sepulang sekolah yang terasa amat membosankan, try out yang memeras pikiran, dan pada akhirnya harus menghadapi ujian yang menentukan masa depan kami.
Terkadang terkelebat beberapa pertanyaan dalam benakku, untuk apa aku menjalani ujian ini? Bagaimana mungkin sebuah kelulusan dapat dinilai hanya dengan nilai enam mata pelajaran? Bukankah kita membutuhkan keterampilan untuk dapat betahan hidup, bukan nilai yang sempurna?... Tetapi pada akhirnya, aku sadar, bahwa untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, kita harus berjuang keras menghadapi rintangan. Ujian ini hanyalah sebuah titik awal untuk perjuangan masa depanku, dan impianku.
Sabtu pagi, 13 Juni 2009, adalah detik-detik mendebarkan dalam hidupku, juga teman-temanku. Detik-detik penentuan dalam hidup kami. Akankah perjuangan kami selama setahun ini memperoleh hasil yang gemilau? Ataukah kami gagal dan harus mengulang kembali satu tahun yang terasa amat berat ini?
Sorak-sorai gembira terdengar ketika hasil Ujian Nasional diumumkan. Kami berhasil mempertahankan tingkat kelulusan seratus persen! Kami berhasil melalui ujian ini! Syukur dan puji-pujian kepada Allah kami panjatkann seketika itu. Namun di balik sorak-sorai itu, hati kecilku bersedih dan nelangsa. Kemenangan ini terasa hambar. Kami semua memang berhasil lulus, tetapi aku yakin, si suatu sudut sana, ada seorang teman kami yang bersedih menatap gelak tawa kami. Dan aku tahu kepedihannya yang amat sangat karena walaupun ia siswi kelas dua belas (kelas tiga), ia tak dapat mengikuti Ujian Nasional tahun ini dan harus mengulang tahun depan.
Percakapan pertamaku dengannya adalah ketika kami sama-sama terlambat datang ke sekolah. Saat itu kami terpaksa duduk bersama di bangku paling depan dan mulai berbincang-bincang. Bukannya mendengarkan pelajaran, aku malah asik mendengarkan ceritanya dan tertarik untuk mengetahui kepribadiannya. Aku selalu memegang prinsip, bahwa di balik hal kurang menyenangkan yang terjadi padaku, akan selalu ada hal-hal manis setelah itu. Apa yang ditakdirkan Allah, itulah yang terbaik bagi kita. Dan itu memang benar. Walaupun hari itu aku terlambat dan harus meneriman nasehat panjang dari guru, aku dapat lebih mengenal sosok baru, aku dapat mengenal sosoknya yang periang dan lucu. Aku dapat merasakan arti penderitaandan perjuangan yang sesungguhnya.
Tuti, itulah namanya. Seorang gadis yang akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan para guru dan siswa lain karena perubahan sikapnya yang drastis. Seorang siswi yang berkarakter banyak bicara, yang mengatakan apa saja yang ada di benaknya tanpa memikirkan reaksi orang-orang disekitarnya. Orang lain mengatakan dia tidak tahu malu. Tetapi menurutku, ia hanyalah seorang gadis periang dan lucu. Menurut cerita yang kudengar, dulunya ia adalah seorang gadis pemalu dan pendiam. Ia seperti kebanyakan gadis pendiam lainnya, berkacamata dan suka membaca. Ia cukup cerdas dan termasuk sepuluh besar di kelas. Tetapi kemudian, masalah-masalah remaja yang menimpanya telah mengusik karakternya yang lama. Sifat pemalu dan pendiamnya perlahan mulai terkikis dan tergantikan oleh sikap lain. Dia menjadi lebih sering berbicara dan membuat tingkah yang lucu. Lidah mungkin saja berdusta, namun mata tak pernah berbohong. Aku merasakan jiwanya dari pancaran matanya. Aku yakin, ia memaksakan diri menjadi gadis periang untuk membantunya agar tetap tegar. Di balik tawanya, ia menyimpan kepedihan yang tidak dirasakan orang lain.
Mungkin menurunkan rasa percaya diri yang terlalu tinggi hampir semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi sukar untuk menaikkan semangat yang sudah terlanjur jatuh sesulit memindah gunung. Seiring dengan tes-tes uji coba yang kami jalani, semakin Tuti frustasi dan putus asa. Dari hari ke hari, bukannya meningkat naik, nilai-nilainya malah turun dengan drastis! Sesuatu yang amat ditakuti oleh kami, para siswa kelas XII yang sedang menanti ujian. Bukan hanya kecerdasan yang menentukan, tetapi juga faktor psikis. Jiwa, pikiran, dan fisik, adalah tiga hal yang berkait satu sama lain. Ikatan mereka bagaikan air, ikan, dan laut, tak mudah untuk diretakkan dan dipisahkan. Jika ada salah satu yang kurang beres, yang lain akan terpengaruh. Tak mudah untuk hidup dengan salah satu bagian yang tak sempurna. Seperti saat kita sakit, pikiran kita pun sulit untuk diajak berkompromi, seakan-akan ia ikut merasakan saudaranya yang menderita.
Perasaan Tuti seperti gadis-gadis yang lain, sangatlah sensitif. Masalah-masalah kecil yang dialami Tuti selalu dipikirkannya dalam-dalam. Sebagai salah satu orang yang dipercayainya, aku sering memberitahunya “Jangan kau pikirkan terlalu dalam masalah kecil seperti itu. Santai saja”. Ia memang mau mendengarkanku, namun perasaan tetaplah perasaan. Sulit untuk sedikit mengubah karakter dasar seorang wanita, yang memebuat wanita unik dan berbeda dari lelaki. Sedih rasanya mengetahui ia sering pusing karena memikirkan masalahnya.
“Aku pusing,” katanya suatu ketika.
“Cobalah untuk menyebut nama Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kau akan tenang,” jawabku menasehati. Aku memang selalu menyerahkan kepada Allah atas semua yang terjadi padaku. Rabb yang Maha Pengasih lah satu-satunya tumpuan hidupku. Semua yang ada di dunia ini akan selalu kembali kepadanya, begitu juga denganku. Aku hanyalah manusia kecil yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaanNya yang begitu besar. Dan Tuti, seperti biasa, ia mau mendengarkan perkataanku. Memang benar, rasa sakitnya agak berkurang ketika menyebut nama Dzat penciptanya itu. Hatinya menjadi lebih tenang dan damai.
Bulan demi bulan berlalu, Ujian Nasional semakin dekat. Ada saat-saat dimana aku juga merasakan frustasi karena tekanan yang muncul dari dalam diriku sendiri. “Aku harus lulus!”. Dan itu tidak membuatku semakin optimis, malah menjatuhkan mentalku yang labil. Kegagalan demi kegagalan tak urung kualami. Aku pernah gagal lulus pada mata pelajaran Matematika dalam salah satu try out terakhir. Aku merasa seolah-olah seluruh dunia menyalahkanku. Pikiran-pikiran buruk mulai membayangiku. “Bagaimana mungkin aku tidak bisa mengerjakan soal semudah itu”, “Bagaimana jika aku menjadi satu-satunya orang yang tidak lulus?”. Susah rasanya untuk dapat tertawa lepas pada detik-detik menjelang ujian, aku merasakan kelunya lidah dan bibirku. Aku berusaha tertawa lepas, tapi yang ada hanya tawa palsu. Aku bukan seorang pengecut, tapi aku terlalu takut.
Tekanan-tekanan dari luar seolah membayangi jiwaku. Orang tua, guru, dan sekolah seolah-olah telah menjadi hantu yang membayangi hari-hari dan mimpi-mimpiku.
“Kalian harus lulus! Kalian tidak mau jika malu di kemudian hari bukan?!” aku membayangkan guruku mengatakannya dengan nada mengancam. Padahal hal itu tudak pernah terjadi.
“Galih, kamu harus lulus! Kami tidak mau menanggung malu jika kamu gagal!” kata ayahku. Kata-kata itu pernah membayangi kepalaku, bahkan aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi dan raut wajah ayahku. Namun seperti yang sebelumnya, itu hanya imajinasiku saja. Tak pernah benar-benar terjadi.
“Kalian harus mempertahankan nama sekolah ini! Kalian harus lulus 100%. Sekolah ini sekolah favorit! Saya tidak mau jika salah satu dari kalian mencorang wajah sekolah ini Karena ketidaksanggupan kalian!”. Kalimat itu hanya khayalan, tak pernah ada.
Berbagai bayangan buruk menghantuiku. Dalam pikiranku, kata-kata yang sebenarnya diucapkan dengan lembut, menjadi keras dan menusuk hati. Kata-kata yang sebenarnya tidak pernah diucapkan, terasa seolah-seolah pernah diucapkan dengan sangat jelas. Itu hanya imajinasi, imajinasi yang buruk dan menyiksa. Bingung, putus asa, dan tertekan. Namun aku sadar, aku tidak sendirian. Banyak juga teman-temanku yang merasakannya. Kami semua sama, diliputi rasa was-was dan takut. Satu hal yang dapat membuat kami lebih tenag. Allah bersama kami….
Tuti merasakan hal yang sama sepertiku, seperti teman-teman yang lain. Pada detik-detik akhir menuju ujian, kondisi fisik dan jiwanya semakin menurun, ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Pancaran matanya yang dulu hidup, kini mulai sayu, tubuhnya pun semakin kurus. Kadang, ia tak menyadari lagi apa kata-kata yang telah diucapkannya. Jiwanya kosong dan telah mealayang pergi entah kemana. Kemudian pihak sekolah menyarankannya untuk mengundurkan diri dari ujian dan mengulang lagi tahun depan. Aku merasa emosi dan marah, “Ini tidak adil!!”. Bukankah selama setahun ini dia telah berjuang bersama siswa lain? Bukankah jika diberi kesempatan ia pasti bisa mengerjakan soal-soal itu? Bukankah soal uji coba memang didesain lebih sukar? Saat itu aku marah dan kecewa, mencoba mengutuk dunia ini.
Namun aku sadar, itu perbuatan yang sia-sia. Bagaimanapun, itulah takdir yang akan kujalani. Kemarahan dan hati yang tidak tenang tak akan menyelesaiakan masalah. Aku pun memutuskan untuk menghibur Tuti, mencoba membuatnya segera sembuh sebelum ujian berlangsung dan tak lupa belajar agar aku dapat lulus dengan nilai baik. Namun, itu tidaklah semudah yang aku bayangkan.
Waktu bergulir dengan cepat. Meninggalkan jiwa-jiwa lemah yang tertatih-tatih mengejarnya. Tak lama kemudian ujian pun tiba, saat penentuan yang telah ditunggu-tunggu tetapi juga ditakuti. Kami, para siswa kelas dua belas, akan berjuang menempuh sebuah ujian kecil untuk menjemput masa depan kami. Keringan dingin, gugup, dan rasa takut, meliputi perasaan kami. “Akankah kami semua lulus?”. Tak ada yang dapat kami lakukan untuk mencegah ujian ini, yang dapat kami lakukan hanya pasrah dan berdoa. Kami hanya dapat memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar ia memudahkan kami dalam mengerjakan soal-soal itu. Dan inilah akhirnya. Akhir dari perjuangan kami di kelas dua belas SMA ini. Kami semua, aku dan teman-temanku dapat lulus ujian, dan tentunya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.Ke jenjang dimana awal dari perjuangan baru akan segera dimulai.
“Perih dan pedih” itulah yang dirasakan Tuti. Mungkin ia merasa kalah sebelum bertanding, ia merasa gagal sebelum mengerjakan tes. Mungkin ia merasa kalah sebelum bertempur. Tapi menurutku tidak! Ia juga seorang pemenang. Ia memenangkan pertempuran di dalam dirinya. Ia berhasil mengalahkan rasa takutnya dan memutuskan untuk berjuang tahun depan. Pasti sulit baginya untuk menghilangkan bayangan-bayangan buruk dari pikirannya. Tapi ia berhasil. Aku bangga padanya, ia gadis yang kuat. Aku juga sangat bersukur, banyak temanku yang peduli terhadapnya dan memberi dukungan. Aku ingin Tuti yakin dan merasa, bahwa ia bagian dari kami, ia tidak sendiri. Kami akan selalu ada untuknya.
Amat sulit menerima kenyataan bahwa kita gagal, sedang yang lain berhasil. Mungkin sebagain orang mengira bahwa mengahiri hidup adalah satu-satunya jalan keluar dari masalah. Tidak! Itu salah. Gagal ujian bukan berarti dunia berakhir. Bersikap ksatria seperti Tuti adalah salah satu jalan keluarnya. Ia mampu bertahan. Ia sanggup untuk mengulang sekali lagi, perjuangannya yang belum usai. Masa depan baru masih tersembunyi di balik awan, menunggu seseorang yang berusaha untuk menyingkapnya. Dunia baru yang lebih manis akan menunggu orang-orang yang mampu bertahan dan berusaha. Takdir adalah misteri. Percayalah, bahwa apa yang ditakdirkan Allah adalah yang terbaik untuk kita. Percayalah, bahwa dibalik musibah yang terjadi, akan ada hal-hal manis yang menungu. Setelah akhir semu yang gagal, akan selalu ada awal perjuangan baru.
Dan pada akhirnya, aku menceritakan kisah ini pada seorang adik yang aku percaya. Seorang adik yang aku harap, dapat mengerti kisah ini dan dapat menjadi sahabat baru bagi Tuti. Seorang adik yang kuharap dapat menumbuhkan harapan dan rasa percaya diri baru di dalam jiwa Tuti. Karena aku yakin, di tangannya cerita ini akan menjadi lebih dari pada sebuah kisah. Aku yakin, kisah ini tak hanya akan memberi pelajaran, tetapi juga harapan baru bagi orang lain yang membacanya.
source:
essay untuk lomba Essayala Chicken Soup "Dunia Belum Berakhir" di Edu Muslim
Klik untuk membaca lanjutannya
Sample Text
Life is like a ferris wheel. Sometimes growin up to the sky, sometimes fallin to the ground. But no matter what happened, its always interesting to be enjoyed. Because life is never ending adventure
Kamis, 23 September 2010
Perjalanan dan Perjuangan (Realita Ujian Nasional)
Posted by Muamaroh Husnantiya Kamis, 23 September 20100 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)