Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu
Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam, yang bertema "Dua Sisi"
Kemarin, sembari makan dan mengobrol
di warung bakso bersama teman-teman sekelas, saya membaca sebuah berita. Isinya
tentang masalah keluarga seorang aktris wanita yang juga merupakan anggota DPR berinisial perbulan ia hanya diberi 20 juta, sedang 20 juta sisanya untuk keperluan rumah tangga dan
pendidikan anak-anaknya.
Miris? Iya. Hanya karena uang
kecantikan, bahtera rumah tangga yang telah mereka bangun selama 17 tahun mudah
saja luluh lantak seketika. Sayang, bukan karena badai topan tetapi hanya
karena masalah sepele: uang kecantikan.
Semudah itukah?
Bagaimana dengan
hidup yang telah dijalani bersama selama tujuh belas tahun? Bagaimana dengan
anak-anak yang telah dilahirkan dan dibesarkan bersama? Semudah itukah? Yah,
mungkin masalah mereka tidak hanya sekadar uang kecantikan sebesat empat puluh juta. Mungkin
juga ada beberapa masalah lain yang kurang pantas bila dikuak oleh media.
Ada sebuah modal dasar yang wajib
dimiliki setiap rumah tangga. Modal tersebut bernama cinta.
Tanpa uang, mungkin sepasang kekasih
masih dapat hidup berumah tangga bersama dan saling bahu membahu dengan penuh
kasih sayang. Namun tanpa cinta, semegah apapun rumah yang dibangun, tak akan
ada kebahagiaan di dalamnya. Hanya ada rasa dingin yang hampa, yang kian hari
kian ganas memangsa rasa bahagia.
Sayang, modal yang bernama cinta itu
sama seperti perasaan yang lain. Ia tidak dicipta bertameng imortalitas, ia labil,
dan tidak memiliki wujud abadi. Cinta dapat datang kapan saja tanpa pertanda.
Ia laksana hujan yang turun dari langit, melimpah, menyejukkan, dan membawa
butiran kebahagiaan yang menggelitik perut. Namun di waktu lain, cinta bisa
saja tiba-tiba meghilang. Ia seperti genangan air yang terkena sengatan
matahari: menguap lantas menghilang tanpa bekas.
Namun jika benar cinta seperti air,
maka setelah menguap seharusnya ia akan turun lagi sebagai hujan. Ia kembali
lahir sebagai hujan yang masih membawa partikel yang sama. Setelah cinta mati, ia akan terlahir
kembali dalam wujud yang baru namun masih membawa jiwa yang sama. Ya, jika
memang cinta seperti air.
Begitu pula dalam rumah tangga. Ada
kalanya rasa cinta itu begitu menggebu bagai beribu titik hujan di Bulan
Desember. Namun ada kalanya rasa cinta itu menguap tak berbekas bagai air laut
yang pergi hanya menyisakan garam. Saya yakin, setiap pasangan pasti pernah
mengalami fluktuasi cinta. Bukan hanya ayah ibu saya, tapi juga ayah ibunya,
ataupun ayah ibu siapa saja.
Dulu saya merasa beruntung memiliki
keluarga yang utuh: saya, adik-adik, dan orang tua yang masih tinggal bersama.
Setiap saya bermain ke rumah teman saya, meski bahagia, saya juga sedih melihat
keluarga mereka tak lagi utuh seperti dulu. Terkadang ada rasa haru melihat si
kawan menulis puisi-pusi kerinduan akan kehadiran ayahnya. Namun, terkadang
hati ini juga nelangsa melihat ia merutuki ayahnya yang pergi menikah lagi
dengan wanita lain.
Menginjak SMA, saya masih merasa
beruntung. Saya memiliki seorang teman dekat. Ayah dan Ibunya sangat sibuk,
kerap ia sendiri di rumah, tanpa hangatnya masakan ibu, dan tanpa keriangan
tawa seorang ibu. Hanya beberapa kali saja saya berjumpa dengan ibu kawan saya
itu. Saya merasa beruntung memiliki ayah dan ibu yang selalu meluangkan waktu
untuk keluarganya. Saya merasa beruntung dapat merasakan nikmatnya masakan ibu
setiap hari, setiap pagi menjelang berangkat sekolah.
Namun kini, semua berbeda. Saya
merasa iri ketika melihat ayah dan ibu salah seorang teman saya yang lain. Ayah Ibunya selalu
pergi bersama, berdua, kemana-mana, apapun urusannya. Mereka seolah satu jiwa
dalam dua tubuh berbeda. Bahkan jarak yang tak seberapa dapat membuat mata tak
dapat terlelap karena rasa rindu yang menggelayut.
Kini saya merasa nelangsa. Sepertinya
rasa cinta itu, antara Ayah dan Ibu saya tidak sekental dulu. Ada curiga,
tanya, dan prasangka. Entah mengapa. Yah, kata orang begitulah hidup, ada
kalanya pasang dan ada kalanya surut.
Seperti kata Tere Liye,
ketika kita menyukai seseorang, bukan berarti kita pasti akan suka selamanya. Ada masa-masa rasa suka itu berkurang, bahkan hilang sama sekali. Tetapi juga bukan berarti kalau sudah tidak suka lagi, maka selesai begitu saja. Itulah gunanya komitmen, kepercayaan, yang akan membawa kembali perasaan suka persis seperti pertama kali dulu kenapa kita suka seseorang tersebut, atau malah lebih.
Jadi ketika sebuah hubungan sedang
memasuki fase menguap, maka yang perlu dilakukan adalah mengusahakan turunnya
hujan. Mengapa? Agar seperti kata Tere Liye: membawa kembali perasaan suka itu,
persis seperti pertama kali. Yang perlu dilakukan adalah mengusahakan
terlahirnya kembali perasaan yang bernama cinta itu.
Meski belum pernah merasakannya,
saya tahu, kehidupan rumah tangga tidak sesederhana satu tambah satu sama
dengan dua. Kehidupan rumah tangga tak selalu semanis muda mudi yang sedang
kasmaran. Kehidupan rumah tangga juga tak sekonstan gerak benda di ruang hampa.
Selalu ada gesekan dan hambatan yang tiba-tiba menghadang.
Bahtera rumah tangga, tak selamanya berlayar sempurna. Rumah tangga, tak selamanya diliputi
oleh cinta. Ada kalanya, juga ada petaka atau nestapa.
2 komentar:
Merawat cinta memang sulit, tidak seperti mendapatkannya, harus ada pengorbanan
iya, bener banget U_U
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^