Tulisan ini
diikutkan pada 8 Minggu
Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kelima yang bertema cinta pertama.
Membaca
tema minggu kelima ini, seketika hati saya meretas. Cinta pertama. Ah, padahal baru beberapa
hari lalu saya mendapat kabar bahwa seseorang yang dulu saya sukai kini telah
bersanding dengan orang lain.
Pedih?
Tidak juga. Yah, beberapa orang mengatakan bahwa kami berdua sangat mirip
dengan dua tokoh utama dalam Perahu Kertas karya Dee: Kugy dan Keenan. Saya
kecil, cengengesan, blak-blakan, kadang kucel, dan suka menulis. Dia seniman
sejati, piawai dan jago dalam menggambar. Kami sama-sama menyukai seni, namun
dalam bentuk berbeda.
Bukankah
pedih rasanya mengenang kisah itu? Tidak juga. Karena ternyata,
cinta pertama
saya bukan pada si lelaki yang karakternya sangat mirip Keenan tersebut.
Cinta
pertama, sebuah frasa yang ketika tanpa sengaja terbesit akan meghadirkan
beraneka citra dalam alam pikir kita. Entah geli, bahagia, melankolis, duka,
maupun lara. Dan beragam reaksi setelah
mendengar frasa tersebut: tertawa geli, tersenyum bahagia, galau berjam-jam,
ingin makan enak, atau tiba-tiba ingin mati. Yah, selalu ada makna di balik
kisah tentang cinta pertama.
Ada sebuah
kutipan tentang cinta yang sangat saya sukai. Kata-kata yang diucapkan oleh seorang tua yang bijak dalam novel berjudul Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Orang tua bijak itu biasa dipanggil Pak Tua.
Katanya, cinta sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sebesar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, sungai, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta.
Bagaimana
dengan cinta pertama saya?
Waktu itu
saya masih kecil, entah berapa usia saya. Ayah mengajak saya untuk pergi ke
suatu tempat. Ketika ditanya kemana, ia hanya menjawab singkat: rahasia. Pengalamannya sebagai
pencinta alam yang telah melanglang buana hingga ke seluruh penjuru negeri
membuatnya tahu sudut-sudut unik di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta.
Dan tibalah
saya di tempat itu, Kali Kuning, sebuah sungai yang terletak di lereng Gunung Merapi. Sebuah
sungai nan jernih dengan bunyi gemericik bak melodi ciptaan komposer ternama.
Sungai itu berlatar pepohonan hijau tinggi nan segar dan birunya langit. Hanya
ada kedamaian ketika tiba di tempat itu.
Lantas
dengan iseng saya memasukkan sebuah apel dan botol minum bekal kami ke dalam
air sungai. Beberapa saat kemudian, ketika saya mengambilnya, apel dan air
minum itu menjadi sedingin makanan yang disimpan dalam almari es!
Dan bagai
bocah, tanpa ba-bi-bu, saya langsung menceburkan diri dan bergelut bersama
aliran sungai. Saya bercanda dan bercengkrama bersama riak dan bebatuan.
Sungguh, tak ada kolam manapun yang dapat mengalahkan keajaiban sungai itu.
Selain
kami, ada keluarga lain yang sedang mengunjungi sungai itu. Seorang ibu dan dua
anak lelakinya. Kedua anak lelaki tersebut, juga melakukan hal yang sama. Tanpa
tedeng aling-aling, mereka menceburkan diri ke sungai. Bersama kami, menikmati
kesegaran aliran sungai tersebut.
Itulah
kisah tentang cinta pertama saya. Apakah cinta pertama saya adalah si anak lelaki yang juga bermain di
sungai? Bukan, bukan si anak lelaki.
Alam. Alam
lah cinta pertama saya. Kala itu, sungai dan hutan hijau yang mengelilinginya
telah mencuri separuh hati saya. Saya jatuh cinta pada keajaibannya, pada
keindahannya, dan pada rasa tenang yang diberikan. Saya jatuh cinta pada
kesegaran nafas alam.
Ketika
resah datang, hanya dengan memandang atau bercakap dengan alam, ketenangan
tiba-tiba datang. Ketika gundah datang, hanya dengan mengunjungi alam, maka
seketika hati ini akan bahagia. Ketika alam tersakiti, maka hati ini juga ikut
tersakiti.
Tak hanya
sungai. Saya benar-benar jatuh cinta pada setiap bagian alam: langit, angin,
hujan, kilat, guntur, pelangi, bunga, hewan, hutan, gunung, pantai, laut. Semua
bagian alam. Ketika memasuki masa—masa sekolah, saya pun mengikuti kegiatan
Pramuka dan Pencinta Alam agar semakin dekat dengan alam. Ya, karena sesibuk
apapun, semenyenangkan apapun, sekeren apapun kegiatan yang saya ikuti, tidak
ada yang dapat menggantikan kehadiran suasana alam yang alami.
Hanya satu
yang benci, ketika manusia dengan pongahnya merusak alam. Menebang pohon,
mengeksploitasi sumber alam secara berlebihan, ataupun sekadar membuang sampah
sembarangan. Kadang tak habis pikir, bukankah manusia hidup dengan menyesap
sari-sari alam? Lantas jika mereka merusaknya, kemana manusia harus
menggantungkan sumber penghidupan?
Kisah cinta
saya pada alam berlanjut hingga ke bangku SMA. Masa dimana perlahan-lahan proporsi
cinta itu semakin berkurang karena saya bertemu dengan manusia yang merebut
perhatian saya dari alam. Ya, si seniman itu, duplikat kw tingkat 3 dari
Keenan.
semasa SMA |
Cinta saya
pada alam, tak pernah berhenti. Karena alam selalu setia, tak pernah berdusta,
maupun mengingkari janji setia.
1 komentar:
keren euyyy, alam memang patut untuk djadikan sahabat...
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^