Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu
Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu keenam dengan tema dua sisi.
Dalam setiap detil aspek kehidupan, semua orang pasti
menginginkan kepastian. Siapa mau terus menerus dirundung kegelisahan, kebingungan,
dan tanda tanya karena ketidakpastian? Siapa mau, terus menerus menerung dalam
kemelut memikirkan probabilitas yang akan terjadi diantara berjuta kemungkinan?
Siapa yang mau, berlama-lama diam tak dapat melakukan hal lain karena dirundung
ketidak pastian?
Dalam pekerjaan misalnya, tidak ada yang mau berlama-lama
digantung status pegawai tetapnya oleh perusahaan. Semua orang pasti
menginginkan kepastian status pegawai secepat mungkin. Apalagi jika pengabdian
yang dilakukan sudah bertahun-tahun. Dalam berpacaran misalnya, tidak ada yang
mau berlama-lama digantung hubungannya oleh seseorang. Semua orang pasti
menginginkan kepastian akan sebuah hubungan, apalagi jika sudah lama PDKT namun
tak kunjung jadian, atau sudah lama pacaran namun tak kunjung melangkah ke
pelaminan.
“Kuliah di mana?”
“STAN”
“Oh, enak ya... Lulus langsung kerja,”
Dan saya biasanya hanya menjawab pernyataan semacam itu
dengan sebuah senyuman, senyuman penuh misteri *halah. Ah, benarkah enak?
Mungkin secara sepintas, STAN tampak menjanjikan segala kemudahan. Ia bagai
bintang yang dapat memenuhi keinginan para orang tua juga para lulusan SMA:
kuliah gratis, tiga tahun lulus, langsung bekerja, dan menjadi PNS. Lagi, bukan
sembarang pegawai negeri, tapi pegawai negeri di Kementerian Keuangan.
Sepintas, berkuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, segala
sesuatu tampak menggiurkan dan penuh kepastian. Siapa tidak ingin, lulus langsung kerja dengan gaji yang lumayan? Padahal,
dalam segala kepastian masa depan yang dijanjikan—entah itu janji manis
atau hanya sekadar janji palsu—terdapat ketidakpastian yang terus mendera kami.
Dari semester awal hingga semester akhir, ketidakpastian itu kian besar bagai
awan hitam yang melingkupi hati kami, atau paling tidak hati saya.
Ada banyak hantu di kampus ini. Hantu apa saja? Yang jelas
bukan kunti, genderuwo, pocong atau sundel bolong. Yah, walaupun beberapa
diantara mereka juga ada di sini.
Hantu pertama adalah hantu DO, alias drop out. Kalau di
kampus lain, mungkin beberapa nilai D atau E tidak akan mungkin dapat merenggut paksa eksistensi
seseorang. Satu atau beberapa nilai D dan E masih dapat diampuni karena masih
ada semester pendek atau semester depan untuk mengulang. Tapi di kampus saya?
Nilai D atau E adalah sebuah siksa. Dua buah nilai D, atau cukup satu buah nilai
E dapat mengandaskan segala peluh perjuangan pada semester-semester lalu. Tidak
ada pengulangan, tidak ada semester pendek, tidak ada kesempatan kedua di
semester depan. IPK minimal 2,75.
Jadilah setiap liburan pasca UAS, hati saya dan teman-teman
yang lain dirundung kegelisahan karena ketidakpastian: akankah semester ini
kami selamat? Akankah semester ini ada anggota keluarga kami yang terpaksa
gugur?
Sebenarnya hanya ada satu hantu ketidakpastian yang paling
menakutkan, si hantu DO tadi. Namun entah mengapa, seiring dengan pergerakan
birokrasi—yang entah lebih baik atau malah lebih bobrok—kini muncul sosok hantu
yang lain.
Jika orang lain mengatakan lulusan STAN pasti langsung
magang dan diangkat, itu memang benar. Dulu. Ya, dulu.
Sudah beberapa tahun ini
terdapat ketidakpastian dalam pengangkatan. Jika dulu bisanya setelah lulus
langsung magang dan beberapa bulan kemudian langsung diangat menjadi PNS yang
memiliki kemampuan handal di bidang keuangan, dua tahun ini lulusan STAN harus
menunggu waktu cukup lama. Bahkan, angkatan 2010 harus menunggu dalam
ketidakpastian selama berbulan-bulan tanpa kabar sama sekali. Sama sekali.
Mereka seolah dilepas dan dibebaskan, namun tetap dipegang ekornya agar tidak
kemana-mana.
Alasannya? Moratorium pegawai.
Membengkaknya belanja pegawai membuat postur
APBN membuncit menggendut. Belanja pegawai inilah yang dituduh sebagai biang terus meningkatnya APBN Indonesia namun tidak dibarengi dengan pembangunan fisik yang memadai. Seharusnya, dengan anggaran yang semakin besar, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga semakin baik.
Kemenpan, ingin agar jumlah pegawai di semua kementerian
disamakan. Katanya, agar belanja pegawai tidak membengkak. Eitss, tunggu dulu.
Anak SMA saja tahu kalau keadilan tidak harus berarti sama. Setiap kementerian
memiliki kinerja dan tugas yang berbeda-beda, tentu saja kebutuhan pegawai juga berbeda-beda. Bagaimana mungkin jumlahnya
disamakan? -___-
Nah itu tadi ketidakpastian yang ada di kampus saya, sekolah kedinasan yang notabenya dinobatkan penuh kepastian. Memang, di dunia ini
tidak ada suatu sifat pun yang tercipta mutlak. Seperti yin dan yang. Meski
mereka adalah dua unsur berbeda, namun perpaduan keduanya meciptakan
keseimbagan. Selalu ada yin di dalam yang, dan selalu ada yang di dalam yin.
Begitu pula kehidupan ini, selalu ada ketidakpastian sekalipun berada pada
lingkungan yang penuh kepastian.
2 komentar:
Segala sesuatu yang enak, yang baik, pasti ada konsekwensi yg besar di belakangnya.
iya, begitu juga dengan kuliah saya hufft
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^