Laporan Perjalanan
Oleh: Muamaroh
Husnantiya
Adalah
Saung Angklung Udjo, sebuah sanggar seni yang berlokasi di Jalan Padasuka 118
Bandung. Saung ini merupakan sebuah sanggar seni sebagai tempat pertunjukan
seni, laboratorium pendidikan, sekaligus objek wisata khas Jawa Barat. Uniknya,
saung yang diprakarsai oleh Udjo Ngalagena dan Uum Sumiati ini memberdayakan
masyarakat sekitar.
Beruntung
saya dan mahasiswa Program Diploma III Kebendaharaan diberi kesempatan
mengunjungi Saung ini dalam acara Studi lapangan yang diprakarsai oleh Forum
Komunikasi Mahasiswa Anggaran dan didukung oleh pihak sekretariat STAN.
Senin
(15/04/13) sore itu, tepatnya pukul 17.45, rombongan kami tiba di SaungAngklung Udjo. Tak disangka, suasana sejuk dan nyaman menyambut kami. SaungAngklung Udjo dikelilingi oleh pohon-pohon bambu,
dari kerajinan bambu dan interior bambu sampai alat musik bambu.
Mungkin, nuansa bambu itulah yang memanjakan mata kami, sangat berbeda dengan
nuansa perkotaan yang padat akan gedung-gedung beton pencakar langit.
Selain
tempat pertunjukan, Saung Angklung Udjo juga menyediakan
toko suvenir dan lahan
parkir yang luas. Cocok bagi rombongan dalam jumlah besar yang ingin mengadakan
karya wisata, termasuk kami. Toko suvenir Saung Angklung Udjo menyediakan
beragam jenis barang-barang kerajinan khas Sunda seperti gantungan kunci,
miniatur angklung hingga angklung asli, hiasan rumah, dan pakaian. Selain
barang-barang yang dijual memang unik dan memiliki nilai seni tinggi, harganya
pun tidak sulit dijangkau.
Di samping
pertunjukan rutin setiap sore, Saung Angklung Udjo telah berkali-kali
mengadakan pertunjukan khusus yang dilakukan pada pagi atau siang hari.
Pertunjukkan tersebut tidak terbatas diadakan di lokasi Saung Angklung Udjo
saja, tetapi berbagai undangan tampil di berbagai tempat baik di dalam maupun
di luar negeri.
Malam
itu, saya dan rombongan diberi kesempatan iuntuk menyaksikan pertunjukan seni
di Saung Angklung Udjo. Bertempat di sebuah panggung dengan tiga tribun kecil,
kami dapat dengan jelas melihat para seniman tradisional, mulai dari dalang
wayang golek, para pemusik pengiring pertunjukan, juga para penari.
Dengan
meredupnya latar lampu, suasana remang-remang pun tercipta, dan pertunjukan pun
dimulai. Dua orang pembawa acara, Teh Gira dan Teh Awit memasuki latar
pertunjukan, memberikan kalimat pembuka, dan pertunjukan pun dimulai.
Wayang Golek, Wayang Khas Sunda
Wayang Golek |
Rupanya
demonstrasi Wayang Golek menjadi pertujukan pembuka malam itu. Mengapa
demonstrasi? Karena konon, pertunjukan Wayang Golek yang sebenarnya dapat
memakan waktu hingga semalam, yakni 7 jam. Di Saung Udjo ini, walaupun kami
hanya menyaksikan demonstrasinya yang berdurasi 15 menit, namun kekocakan si
dalang cukup untuk menghibur. Tentunya juga menambah wawasan budaya mengenai
wayang golek.
Wayang
Golek sendiri merupakan wayang khas Sunda, yaitu pementasan sandiwara boneka
kayu yang menyerupai badan manusia lengkap dengan kostumnya oleh seorang
dalang. Pada mulanya pertunjukan ini sering dipentaskan sebagai bagian upacara
adat, seperti upacara bersih desa, ngaruwat, dan lain-lain. Secara filosofis,
kata wayang berarti bayangan yang merupakan pencerminan dari sifat dalam jiwa
manusia, seperti angkara murka,
kebajikan, dan serakah. Dalam setiap pementasannya, wayang selalu membawa pesan
moral agar kita selalu patuh pada Sang Pencipta dan berbuat baik pada sesama
manusia. Ia yang menanam kebaikan, ia yang akan menuai kebahagiaan, dan ia yang
melakukan kejahatan, ia lah yang akan menanggung akibat.
Ada
dua wayang golek yang terkenal, yaitu wayang golek papak (cepak) dan wayang
golek purwa. Pertunjukkan wayang golek diiringi gamelan Sunda (Salendro) dan
diiringi oleh tembang yang dinyanyikan oleh Sinden. Namun pada pertunjukan
wayang di Saung Udjo kami tidak melihat adanya sinden (penyanyi wanita)
Adapun
pola utuh pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut:
- Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara
- Babak unjal, paseban, dan bebegalan
- Nagara sejen
- Patepah
- Perang gagal
- Panakawan/goro-goro
- Perang kembang
- Perang raket
- Tutug
Namun
tentu saja kami tidak melihat pertunjukan wayang secara keseluruham, hanya
demonstrasi 15 menit.
Selain
sebagai media hiburan, pertunjukkan wayang golek juga memiliki fungsi lain yang
sangat penting bagi masyarakat setempat, yakni ngaruat. Selain untuk kebutuhan
spiritual, pertunjukan wayang untuk saat ini juga sering dipertunjukan dalam
acara perayaan seperti khitanan, pernikahan, dan lain-lain.
Helaran, Pengiring Khitanan dan
Panen Padi
Seusai pementasan Wayang Golek, kami disuguhi dengan
pertunjukan “Helaran”. Helaran
sering dimainkan untuk mengiringi upacara tradisional khitanan dan upacara
panen padi.
Helaran |
Dalam Helaran, digunakan angklung dengan nada
Salendro atau Pentatonis “Da Mi Na Ti La Da” yaitu nada asli angklung Sunda.
Helaran dimainkan dengan nada riang gembira dengan tujuan menghibur dan
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Malam itu, Helaran dimainkan untuk mengiringi
upacara khitanan seorang anak kecil berpakaian khas Sunda berwarna merah
dan diarak di area pertunjukan.
Selain Wayang Golek dan Helaran, di Saung Udjo juga
biasa dipentaskan beberapa tari tradisional yaitu, tari Topeng dan Tari Merak.
Tari Topeng terdiri atas dua babak. Babak pertama dimainkan tanpa topeng dengan
cerita Layang Kumintir, pembawa berita untuk Ratu Kencana Wungu dari Majapahit,
yang sedang menyelidiki keadaan di Kerajaan Blambangan. Babak kedua memakai
topeng dengan cerita Layang Kumintir menyamar menjadi seorang pria gagah
perkasa untuk melawan Prabu Menakjingga. Topeng tersebut merupakan penggambaran
karakter manusia.
Sayang, kami tidak sempat disuguhi pertunjukan
tari-tari yang menakjubkan ini.
Angklung, Seni Warisan Daeng
Soetigna
Angklung di Saung Angklung Udjo |
Berikutnya kami disuguhi pertunjukan seni musik oleh
grup musik Arumba. Dalam pertunjukan ini terdapat beberapa alat musik yang
dimainkan seperti, gamelan dan angklung.
Ternyata alat musik tradisional pun
dapat memainkan berbagai macam aliran musik, dari lagu tradisional hingga
modern, dari musik dalam negeri hingga luar negeri. Ada lima buah lagu
tradisional yang dimainkan saat itu. Lagu-lagu tersebut mewakili keanekaragaman
budaya di seluruh nusantara di antaranya adalah Bungong Jeumpa, Kicir-Kicir, Cublak-Cublak
Suweng, serta Yamko Rambe Yamko.
Momen yang paling menyenangkan bagi kami, adalah
saat kami diberikan masing-masing sebuah angklung. Angklung tersebut ternyata
dipergunakan untuk dipelajari dan dimainkan bersama-sama.
Kami pun mulai belajar memainkan angklung. Jika di
kampus, mungkin hanya mereka yang mengikuti kegiatan Sabdanusa—atau yang
mendapat tugas untuk menampilkan budaya Sunda saja—yang berkesempatan untuk
mempelajari angklung. Namun di sini, kami semua berkesempatan untuk memainkan
angklung.
Setiap angklung memiliki tangga nada masing-masing,
1-2-3-4-5-6-7 dan seterusnya. Kebetulan saat itu saya mendapat angklung
dengan nada re, nada yang dimainkan tidak sesering nada sol. Ternyata tidak
susah untuk memainkan angklung. Dengan panduan pembawa acara, kami memainkan
beberapa buah lagu dari yang paling mudah hingga yang cukup sulit. Sangat
menyenangkan. Sayang, angklung-angklung tersebut hanya dipinjamkan, bukan untuk
dibawa pulang.
Angklung
sendiri adalah sejenis alat musik yang terbuat dari bahan bambu yang mempunyai
suara dan irama yang khas. Angklung merupakan gabungan dari beberapa instrumen
yang terdiri dari pipa bambu dengan ukuran yang berbeda-beda dan ditempatkan di
suatu bingkai yang kecil dan diguncangkan untuk mengeluarkan bunyi.
Salah
satu angklung tertua yakni Angklung gubrag di Jasinga, Bogor. Ia masih hidup
sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi.
Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar
tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Angklung
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai
penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat
rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah
Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu
sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-
anak pada waktu itu.
Asal
usul terciptanya angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi sebagai makanan pokoknya. Hal ini
melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi
pemberi kehidupan.
Terdapat
beberapa macam angklung tradisional. Angklung-angklung tersebut antara lain
Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Badeng, Angklung Bungko,
Angklung Buncis, dan Angklung Modern (Padaeng) ciptaan Daeng Soetigna.
Menari Bersama, Penutup atas
Perjumpaan
Pertunjukan di Saung Angklung Udjo |
Setelah bermain angklung, saatnya para putra-putri
Saung Angklung Udjo memainkan pementasan angklung bersama-sama. Di akhir
pertunjukan, kami para penonton ditarik untuk ikut serta turun ke latar untuk
menari bersama-sama putra putri Saung Angklung Udjo. Suasana semakin meriah
karena banyak dari kami yang turut serta menari bersama.
Tarian yang dimainkan adalah tari-tari tradisional
dengan diiringi alat musik tradisional pula. Dengan berakhirnya acara menari
bersama, berakhir pula rangkaian pertunjukan dari Saung Angklung Udjo. Rasa
lelah pun lenyap karena gembira dan puas selama menikmati pementasan yang
dipersembahkan oleh Saung Angklung Udjo.
SaungAngkulng Udjo, di tempat inilah kesenian musik Angklung dilestarikan.
Berdirinya padepokan ini juga tidak lepas dari bantuan dan dorongan Bapak Daeng
Soetigna, seorang tokoh angklung yang juga merupakan guru dari Mang Udjo.
SaungAngklung Mang Udjo menawarkan daya tarik wisata dengan menampilkan pertunjukan
angklung dan demonstrasi berbagai kesenian Sunda lainnya yang dibawakan oleh
kelompok anak-anak setempat. Sungguh menyenangkan dapat datang dan nikmati
pagelaran, serta pelajari cara memainkan Angklung di tempat istimewa ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^