Tulisan ini diikutkan pada #8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.
Tulisan ini saya buat untuk mengabadikan kenangan, sekaligus mencatat perubahan yang terjadi di lingkungan saya.
Tulisan ini saya buat untuk mengabadikan kenangan, sekaligus mencatat perubahan yang terjadi di lingkungan saya.
Dulu lahan di belakang rumah saya itu hanyalah sebuah kebun tak terawat. Jati, pisang, randu berdesakan, berlomba menjulang untuk menggapai sang langit. Dulu ada dedaunan kering dan biji-bijian yang seperti menunggu untuk disemai, berserakan bergumulan menyelimuti. Dulu hanya riuh rendah kicau beburungan. Terkadang induk ayam melintas, menuntun anak-anaknya sembari mematuk pangan. Sedang si jantan mengawasi dari kejauhan sembari menggoda ayam betina lain. Tupai terkadang melompat tiba-tiba, mengagetkan, meriuhkan suasana. Rimbun kebun belakang rumah itu jugalah yang memberi sebagian goresan pada kertas hidup saya, goresan indah.
Teduh namun nampak gagah, masih jelas bagaimana kesan lahan belakang rumah tersebut di benak saya. Kemudian datang seseorang yang tiba-tiba datang mengubah segalanya.
Seorang kakek tua yang datang dari pengelanaannya, setelah berpuluh tahun singgah di negeri orang dalam pengasingan. Beliaulah Hersri Setiawan,
seorang sastrawan Indonesia yang juga pernah ditahan di Pulau Buru pada tahuan 1970-an sebagai tahanan politik pemerintahan Orde Baru. Kakek ini mengasingkan diri di Belanda selama 1987-2004 dan menuliskan kembali catatan-catatannya selama berada di Pulau Buru. Catatan-catatan yang kemudian disusun menjadi sebuah buku, Memoar Pulau Buru. Selanjutnya kecintaanya terhadap kesunyian dan ketenangan menuntunnya ke arah kebun belakang rumah saya.
Seorang kakek tua yang datang dari pengelanaannya, setelah berpuluh tahun singgah di negeri orang dalam pengasingan. Beliaulah Hersri Setiawan,
seorang sastrawan Indonesia yang juga pernah ditahan di Pulau Buru pada tahuan 1970-an sebagai tahanan politik pemerintahan Orde Baru. Kakek ini mengasingkan diri di Belanda selama 1987-2004 dan menuliskan kembali catatan-catatannya selama berada di Pulau Buru. Catatan-catatan yang kemudian disusun menjadi sebuah buku, Memoar Pulau Buru. Selanjutnya kecintaanya terhadap kesunyian dan ketenangan menuntunnya ke arah kebun belakang rumah saya.
Pak Hersri mendirikan sebuah sekolah non formal sekaligus perpustakaan di lahan tersebut, Sekolah Mbrosot namanya (link Facebook Sekolah Mbrosot). Sekolah itu bukan hanya memberikan pendidikan, namun juga pencerahan bagi anak-anak di sekitar desa. Di dalam perpustakaan itu tak hanya buku pelajaran, namun juga menyediakan novel-novel yang menggugah selera baca: Harry Potter, Eragon, Goosebump, Teenlit, buku resep masakan, dan sebagainya.
Banyak kegiatan yang cukup 'menghidupkan' suasana desa, terutama bagi anak-anak.
Gelak tawa canda anak-anak mulai lahir dari sebuah lahan yang dulunya gagah nan sangar. Sekolah Mbrosot menghadirkan berpuluh kegiatan yang menumbuhkan benih kreatifitas. Saya sendiri, karena terhalang rutinitas sekolah dan organisasi, hanya sempat mengikuti beberapa, tidak semua. Kegiatan berkumpul bersama untuk melahirkan karya kini sudah menjadi pemandangan biasa di sekolah kecil belakang rumah saya itu. melukis, membuat kerajinan tangan, membuat mural di dinding.. Tak heran jika sekolah itu semarak dengan coret dan karya anak-anak.
Sekolah Mbrosot |
Pendopo Sekolah Mbrosot |
Banyak kegiatan yang cukup 'menghidupkan' suasana desa, terutama bagi anak-anak.
Gelak tawa canda anak-anak mulai lahir dari sebuah lahan yang dulunya gagah nan sangar. Sekolah Mbrosot menghadirkan berpuluh kegiatan yang menumbuhkan benih kreatifitas. Saya sendiri, karena terhalang rutinitas sekolah dan organisasi, hanya sempat mengikuti beberapa, tidak semua. Kegiatan berkumpul bersama untuk melahirkan karya kini sudah menjadi pemandangan biasa di sekolah kecil belakang rumah saya itu. melukis, membuat kerajinan tangan, membuat mural di dinding.. Tak heran jika sekolah itu semarak dengan coret dan karya anak-anak.
Kegiatan membuat kerajinan |
Melukis dengan Jari |
Kelas Menari |
Ada rasa bahagia ketika mereka dengan bebasnya menggoreskan cat pada kanvas. Ada rasa gembira ketika melihat mereka tertawa riang memamerkan karya yang dihasilkan. Saat Sabtu malam, terkadang mereka berkemah bersama sembari membakar jagung. Celoteh dan nyanyian tak ayal keluar dari mulut mereka. Begitu pun adik saya yang masih duduk di bangku SD, juga sering mengikuti kegiatan di sana. Ia pernah mengikuti kelas menari balet dan pernah tampil di sebuah pagelaran. Terkadang juga ada kunjungan dari lembaga swadaya masyarakat lain. Dari Jogja, bahkan ada dari pulau lain yakni, Sulawesi, tepatnya dari Makassar.
Kunjungan dari Tim Kompasiana
|
Sayang, sekarang saya kuliah di luar daerah, merantau, semakin jarang saya berkunjung ke sana. Padahal, tempat itu merupakan sumber inspirasi ketika kepala terasa mampet. Ada puluhan koleksi buku langka milik Pak Hersri. Bahkan beberapa bulan lalu, saya sempat meminjam Bumi Manusia karya Pram cetakan awal edisi hard cover.
***
Apa yang dilakukan oleh Pak Hersri, mungkin bagi sebagian orang bukanlah hal yang menakjubkan. Tapi menurut saya, itu merupakan sebuah jawaban atas permasalahan yang kerap terjadi. Ketika kini, sekolah hanya megedepankan nilai akademik dan peringkat di kelas, sekolah Mbrosot justru memberikan pengajaran kreatifitas dan kebahagiaan. Ketika anak-anak masa kini mulai terjebak dalam dunia soliter: game, internet, playstasion, sekolah Mbrosot mengajak mereka untuk melestarikan permainan tradisional. Petak umpet, gobak sodor, benteng-bentengan. Permainan yang menjadi kenangan masa kecil bagi sebagian kita yang telah menginjak dewasa.
Terima kasih untuk beliau yang telah menyemarakkan lingkungan sekitar rumah saya dengan kehadiran sekolah itu..
Saya berharap, suatu saat nanti saya juga dapat mendirikan rumah singgah dan rumah baca yang serupa :)
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^