@pdini |
Judul asli: Loockwood & Co., TheScreaming Staircase
Penulis: Jonathan Stroud
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Desain
Sampul: Martin Dima
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
pertama, Januari 2014
Tebal: 424 halaman
Loockwood& Co. adalah satu-satunya agensi pemberantas hantu yang menerima Lucy Carlyle. Sebagai agensi paling kecil dan kere, Loockwood & Co. hanya
beranggotakan tiga orang remaja, yakni Anthony Lockwood, George Cubbins, dan terakhir
Lucy sendiri.
Sosok
Lockwood yang enerjik, berwibawa, penuh semangat, dan misterius segera menarik
perhatian si karyawan baru, Lucy. Sedang George yang piawai dalam melakukan
riset? Lucy justru menganggapnya setampan kaleng margarin yang baru dibuka dan
sekarismatik lap basah yang teronggok di lantai.
Bersetting di London, Screaming Staircase bercerita mengenai wabah hantu yang telah menjangiti Inggris selama lebih dari lima puluh tahun. Ya, tugas Lucy dan kawan-kawan ialah untuk membasmi hantu-hantu tersebut yang merupakan pekerjaan prestis di masa itu.
Bersetting di London, Screaming Staircase bercerita mengenai wabah hantu yang telah menjangiti Inggris selama lebih dari lima puluh tahun. Ya, tugas Lucy dan kawan-kawan ialah untuk membasmi hantu-hantu tersebut yang merupakan pekerjaan prestis di masa itu.
Kasus yang
menjadi pembuka novel ini adalah hantu Annabel Ward di Sheen Road nomor 62.
Tampaknya sepele. Tapi pekerjaan itu tak berakhir rapi. Lucy dan Lockwood lupa
membawa rantai besi yang berfungsi sebagai perlindungan penting dan tanpa
sengaja membakar rumah klien. Mereka pun dituntut untuk membayar ganti rugi yang
tak sedikit. Lockwood & Co. terpaksa gulung tikar jika tak mendapat kasus
bagus sesegera mungkin.
Ketika
reputasi mereka semakin hancur akibat berita di koran dan klien semakin
berkurang, tiba-tiba datanglah pengusaha paling kaya di London, John Fairfax.
Seolah dewa penolong, lelaki itu bersedia membebaskan mereka dari tuntutan dan memberikan
bayaran besar jika mereka bersedia menangani salah satu propertinya, rumah
paling berhantu di Inggris. Beberapa tahun sebelumnya, tiga pemburu hantu dari
agensi paling terkenal dan kompeten di Inggris pernah memasuki rumah itu. Dua
dari mereka ditemuka tewas dan agen terakhir tak pernah ditemukan.
Roh di rumah
itu sangat kuat. Agensi paling besar saja gagal menanganinya, bagaimana dengan
Lockwood & Co.?
Tapi tanpa
babibu Lockwood mengambil tawaran itu—tentu saja ini menuai protes dari Lucy
dan George. Lockwood memang terlihat gegabah saat mengambil keputusan itu. Tapi
nantinya pembaca akan tahu betapa cerdiknya ia. Kelihaiannya bahkan
mengingatkan saya pada sosok Sherlock Holmes.
Di titik
inilah ketegangan mulai memuncak. Dengan persiapan yang minim, mereka memasuki
rumah angker yang selalu membuat beberapa pemilik sebelumnya meninggal. Dua
tempat yang menjadi legenda di rumah itu adalah kamar merah dan undakan menjerit.
Di akhir cerita terungkaplah benang merah seluruh plot di novel ini—tawaran
baik hati dari John Fairfax, misteri kamar merah dan undakan menjerit, serta
kasus yang sebelumnya mereka tangani.
“Lockwood,” aku memanggil. “Oh, Lockwood...” Aku mengucapkannya sesantai mungkin. Sebaiknya jangan sampai menunjukkan ketakutan jika berhadapan dengan Pengunjung (hantu). Mereka bisa dengan mudah menyerap ketakutan; membuat mereka bergerak semakin cepat dan semakin agresif. Tidak ada jawaban, maka aku berdehem dan mencoba lagi. “Oh, Lockwood...!” Aku menggunakan intonasi ceria di sini, seakan-akan sedang berbicara kepada bayi atau hewan peliharaan yang lucu. Dan rasanya memang seperti itu karena si pemuda sialan tidak menjawab. (Lucy)
Ditulis
dengan sudut pandang orang pertama yakni Lucy, Loockwood & Co. adalah buku
berseri kedua karya Jonathan Stroud. Sebelumnya Stroud telah mendulang sukses
dengan Trilogi Bartimaeus yang membuat jutaan pembaca jatuh cinta pada
Bartimaeus—jin narsis, congkak, sarkas, dan suka mengumpat yang memiliki
sedikit sisi kemanusian, humor, dan kehangatan.
Awalnya saya
membeli novel ini karena merindukan kejujuran yang sarkas ala Bartimaeus. Dan,
yah, saya tidak menemukannya di novel ini. Tapi tunggu dulu. Saya justru
menemukan tiga karakter yang tak kalah menariknya dari si jin Barty.
Lucy, Lockwood,
dan George, tiga tokoh sentral dalam novel tersebut, merupakan rekan satu tim.
Tapi jangan bayangkan mereka kompak dan selalu bisa bekerja sama dengan baik. Mereka
kerap bertengkar. Bahkan Lucy dan Lockwood juga bertengkar saat sedang
menjalankan misi mereka menghadapi hantu tipe dua yang kuat—yang dapat
menyebabkan nyawa melayang.
Lucy
menyalahkan Lockwood karena lupa membawa rantai besi yang notabene merupakan
peralatan bertahan paling penting. Lockwood menyalahkan George—yang saat itu
tidak ada di tempat kejadian—karena meminyaki rantai itu sehingga lupa terbawa.
Lockwood akhirnya menyalahkan Lucy karena Lucy lah yang mengusulkan agar rantai
itu diminyaki. Lucy lalu menyalahkan Lockwood lagi karena membuat keputusan yang gegabah.
Akur sekali
bukan?
Itu adalah
cekcok mereka yang pertama. Di bab-bab berikutnya akan banyak lagi cekcok
antara Lucy, Lockwood, dan George, meributkan hal tak penting seperti giliran
membersihkan dapur hingga pertengkaran besar menyangkut kelangsungan hidup.
Tapi, yeah, hubungan mereka selalu baik-baik saja. Hubungan mereka yang unik inilah yang kerap
membuat saya nyengir-nyengir sendiri saat membaca Undakan Menjerit.
Meski tema
yang diangkat bukanlah hal yang baru, yakni hantu dan pembasmi hantu, Stroud
bisa menyuguhkan pengemasan yang aduhai. Ia menyajikan novel ini dengan setting
yang sangat kuat hingga terasa nyata. Ia memaparkan dengan lengkap bagaimana
efek wabah hantu pada pola hidup masyarakat, kebijakan pemerintah, hingga
lembaga-lembaga yang ada. Misalnya, pemerintah mengimbau penduduk untuk tidak
keluar pada malam hari. Sebagai tindakan
ekstra, lentera penghalau hantu juga dipasang di setiap sudut jalan. Pemerintah
juga memiliki lembaga khusus untuk mengentaskan wabah hantu serta mengontrol
kinerja agensi pembasi hantu.
Level-level
dan jenis hantu pun dijelaskan dengan lengkap, mulai dari roh level satu yang
tak berbahaya, roh level dua yang cukup berbahaya, hingga roh level tiga yang
sangat berbahaya tapi langka. Bagian
glosarium juga sangat membantu memahami istilah-istilah yang ada, mulai dari
senjata yang ampuh digunakan untuk melawan hantu, macam-macam kemampuan dalam
mendeteksi hantu, hingga pertanda kemunculan hantu.
Novel ini
sukses mengaduk-aduk perasaan saya. Takut, berdebar-debar, penasaran, sekaligus
geli menahan tawa. Perpaduan yang unik antara cerita horor, aksi, dan misteri
ala detektif.
Aku butuh selimut baru dari lemari di kamar mandi bawah. Terlalu dingin... Jantungku agak berdebar saat aku berbaring di tempat tidur. Ini bener-benar terlalu dingin. Bukan dingin dan lembap pertengahan November. Aku membuka mata lebar-lebar. Gelap gulita. Aku tidak melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tapi aku tahu. Aku tidak sendirian di kamar. (Lucy)
Beberapa
adegan dalam novel ini dengan gemilang membuat saya merinding. Tapi aksi yang
dilakukan oleh Lucy dan kawan-kawan membuat novel ini tidak terlalu menakutkan
untuk dibaca. Kekonyolan-kekonyolan yang disuguhkan juga dapat menjinakkan
adrenalin yang terlanjur meliar kala membayangkan sosok hantu yang mereka
hadapi.
Sayangnya
ketika Lucy, Lockwood, dan George memasuki undakan menjerit, saya justru merasa
kurang tegang. Adegan digambarkan terlalu cepat. Saya justru lebih tegang ketika
membayangkan Lucy dan Lockwood menghadapi hantu Annabel atau memasuki Kamar
merah. Ah, ya, yang paling membuat saya bergidik merinding hingga takut membaca
novel itu di malam hari adalah gambar cover.
Cover buku
ini dihiasi dengan sebuah lubang kunci. Unik. Ketika membukanya, Anda bisa
melihat hantu bocah perempuan berbaju putih sedang naik kuda-kudaan. Nuansanya
seram. Sukses membuat bulu kuduk saya beridiri. Yang saya sayangkan, cover itu
tak ada hubungannya dengan isi cerita karena Lucy dan kawan-kawannya sama
sekali tak menemui hantu bocah perempuan.
Terlepas
dari semua itu, saya sangat menikmati gaya penuturan Stroud yang lugas dan
terkesan ceplas-ceplos melalui tokoh Lucy.
Ada sesuatu dalam penampilannya yang memicu insting terburuk seseorang. Wajahnya jenis yang minta ditampar—seorang biarawati saja bakal tidak tahan untuk menjotosnya—sementara bokongnya memohon untuk ditendang keras-keras. (Lucy tentang George)
Ini
mengingatkan saya pada ‘kejujuran yang sarkas’ ala Bartimaeus. Pembaca yang
tidak terbiasa membaca karya Stroud mungkin akan mengernyitkan dahi dan
menganggap Lucy sebagai cewek kasar yang brutal. Tapi saya yakin, pendapat itu
akan berubah setelah membaca salah satu novelnya. Inilah salah satu keunggulan
Stroud: menciptakan karakter yang tak selalu sempurna, bahkan kadang suka
mengumpat, tapi menarik simpati pembaca.
Secara
keseluruhan, saya menilai novel ini lebih ciamik dari Trilogi Bartimaeus: setting yang kuat, karakter
tokoh yang sangat menarik, alur yang bervariatif namun tak membingungkan, serta
konflik yang membuat geregetan dan penasaran hingga akhir. Stroud juga selalu
menyelipkan joke-joke ringan melalui tingkah tokohnya yang membuat saya
beberapa kali nyengir sendiri. Lima bintang untuk Undakan Menjerit.
Ah, ya. Saya
sangat bahagia ketika Stroud menyebutkan Indonesia di novel ini—meski itu hanya
berupa sebuah penangkap hantu dari Indonesia.
Seperti
Trilogy Bartimaeus, serial ini juga menggoda untuk dikoleksi. Ending movel ini
membuat saya semakin tak sabar menanti sekuelnya yang kedua terbit di Indonesia
:D
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^