Saat ini pelayanan publik di
Indonesia masih rendah kualitasnya jika dibandingkan negara-negara lain seperti
Malaysia, Singapura, Inggris, maupun Amerika. Sistem birokrasi adalah salah
satu penyebabnya, namun faktor-faktor yang lain seperti kesadaran masyarakat juga
turut mempengaruhi.
Tulisan ini akan membandingkan
pelayanan publik di Jakarta yang disinyalir masih kurang prima, dengan kota
Solo yang dinobatkan oleh media massa sebagai kota dengan pelayanan publik yang
cukup prima.
Pelayanan
Publik di Jakarta: Masih Minim Meski Dana Lebih Dari Cukup
Saat ini di Jakarta, pelayanan publik yang dilakukan aparat pemerintah
masih sangat minim. Masih banyak penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
oleh aparatur pemerintahan, seperti pungutan liar dan waktu yang lama dalam
mengurus dokumen-dokumen tertentu (KTP, SIM atau sertifikattanah), birokrasi
yang cenderung berputar-putar dalam pelayanan perizinan, kurang tranparansinya
informasi pengadaan barang dan jasa, dan rekruitmen PNS yang masih terindikasi
kolusi dan nepotisme.
Persoalan yang membuat citra pelayanan publik jeblok adalah ketentuan
tarif layanan yang berbeda antara peraturan dan praktek di lapangan. Misalnya
untuk mengurus dokumen tertentu, tarif resmi yang tertulis adalah Rp 100 ribu.
Tetapi pada praktenya, masyarakat dibebani biaya yang lebih mahal. Kasus
seperti ini ditemukan mulai dari pelayanan kependudukan, izin usaha,
pertanahan, kesehatan, hingga pendidikan. Belum lagi sarana transportasi umum
yangdinilai sangat tidak layak digunakan masyarakat, baik dari segi kualitas
kendaraan, cara mengemudi, kenyamanan, serta keamanannya.
Selain itu, Danang Girindrawardana, ketua Ombudsman menilai bahwa Pemda
Provinsi DKI Jakarta juga dinilai gagal dalam memberikan pelayanan publik di
sektor-sektor tertentu. Sektor-sektor tersebut antara lain Infrastruktur,
transportasi, perhubungan, lingkungan hidup.
Beberapa pelayanan publik yang juga dinilai dibawah standar, yakni
pelayanan KUR (Kredit Usaha Rakyat), pelayanan kepengurusan izin SIUP (surat
izin usaha perdagangan) di Dinas Koperasi dan UKM; pelayanan KIR di Dinas
Perhubungan; pelayanan bus TransJakarta dan beberapa pelayanan publik lainnya,
seperti kependudukan di Dinas Dukcapil DKI Jakarta.
Pelayanan lain yang tak kalah minimnya adalah pelayanan kesehatan.
Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pinggiran (slum area) sangat jauh dari
sentuhan pelayanan kesehatan. Padahal anggaran yang dimiliki Pemprov DKI
Jakarta untuk pos kesehatan ini sangat besar yakni mencapai 800 miliar. Nominal
yang sangat besar dibanding kota Solo yang hanya menganggarkan 20 miliar namun
pelayanannyalebih optimal.
Hal ini sangat ironi mengingat Provinsi DKI Jakarta tidak hanya berdiri
sebagai sebuah provinsi, namun jugasebagai ibu kota negara Indonesia.Jakarta
malah dinilai sebagai kota yang tertinggal dalam hal pelayanan publiknya
dibanding kota-kota lain di Indonesia.
Pelayanan
Publik di Solo: Ramah dan Bergairah
Solo dinobatkan sebagai salah satu kota dengan pelayanan publik yang
paling prima. Upaya meningkatkan pelayanan publik berhasil dibumikan dan
dioperasionalkan menjadi tindakan disana. Jokowi sebagai Walikota Surakarta
misalnya mampu melakukan reformasi pelayanan KTP dan Sistem Perizinan Terpadu
dari birokrasi yang rumit-tak efektif menjadi prosedur yang sederhana. Bahkan
santer beredar kabar di media massa bahwa pasar tradisonal di kota solo sangat
bagus gairahnya, tidak seperti pasar-pasar di kota lain yang mengalami kelesuan
bahkan nyaris musnah.
Selain itu beberapa saat yang lalu Solo juga mendapat penghargaan dari
Kementerian Dalam Negeri karena mampu menyelesaikan target perekaman e-KTP
hingga 100%.
Pelayanan prima yang dimiliki oleh Kota Solo didukung oleh figur Joko
Widodo. Ia sering menghabiskan pekerjaannya di luar kantor. Karena
baginya, dengan berada di luar kantor, kepemimpinannya dapat melakukan sesuatu
yang lebih baik. Saat pedagang direlokasi ke tempat yang lebih layak, setiap
hari Jokowi selalu datang membawa palu untuk menguji kelayakan bangunan
tersebut
Tak jarang Jokowi melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah
tempat pelayanan publik, terutama pasca libur besar nasional. Tujuannya adalah
untuk memastikan bahwa aparatur pemenrintahan kotanya telah benar-benar siap
untuk melayani masyarakat dan tidak mangkir.
Buruknya Pelayanan Publik, Salah Birokrasi
kah?
Buruknya pelayanan publik di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah kurangnya kontrol pemerintah daerah terhadap kebijakan
yang diberlakukan. Hal ini tidak perlu terjadi, apabila ada kemauan serius dari
Gubernur Fauzi Bowo untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Selama ini,
gubernur hanya mendengarkan laporan dari bawahanya bahwa seluruh pekerjaan
telah beres, dan tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.
Selain kurangnya kontrol pemerintah, pola pikir PNS yang masih ingin
dilayani menjadi salah satu penyebab buruknya pelayanan publik. Pola PNS yang
masih ingin dilayani tersebut memperburuk pelayanan publik walaupun sarana dan
prasarana yang tersedia sudah bagus.
Birokrasi sebagai salah satu penyebab rendahnya pelayanan publik tentu
bukanlah tanpa alasan.
- Mayoritas pejabat/ birokrat masih belum memiliki etika yang kuat dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Sehingga pada umumnya para birokrat belum mampu menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa utama yang mempengaruhi nasib diri dan insititusinya. Nasib masyarakat justru masih dipersepsikan bahwa segala tindakannya ditentukan oleh tindakan birokrasi.
- nilai-nilai seperti profesionalisme, non-partisan dan kesetaraan yang seharusnya menjadi dasar pengembangan etika pelayanan publik masih amat jauh dari realisasi penyelenggaraan pelayananpublik.
- birokrasi yang tidak transparan. Berbagai prosedur pelayanan ditambahkan dan bahkan tak jarang biaya-biaya yang tidak terdapat didalam prosedur dimunculkan guna mempercepat proses pelayanan.
Terkait hal itu, Sinambela dalam bukunya yang berjudul ; Reformasi
Pelayanan Publik (2008:90-91) menyebutkan perspektif perkembangan birokrasi di
Indonesia :
- Birokrasi pemerintah sejak awal terbiasa dieksploitasi oleh kepentingan politik penguasa.
- Birokrasi pemerintah sepanjang sejarah perkembangannya belum pernah terbiasa memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat.
- Birokrasi pemerintah telah terbiasa dengan praktik korupsi, dimana kedudukan dan keahliannya dalam melaksanakan pekerjaan penguasa dianggap sebagai peluang untuk mengeksploitasi sumber ekonomi yang menguntungkan dirinya.
- Birokrasi pemerintah sepanjang perkembangannya terbiasa jauh dari kontrol rakyat/ publik atau lembaga lain di luar birokrasi.
- Birokrasi pemerintah sejak awal memang telah terbiasa tidak bisa bersikap netral dari kepentingan politik penguasa.
SOLUSI
Dari kasus-kasus diatas jelas dapat ditarik benang merah bahwa
birokrasi senantiasa menggunakan pola patrimonial/ tradisional yang mengikuti
atau mengekor kepada pimpinan yang sedang berkuasa alias penguasa. Melalui
otorita tradisional yang dimilikinya, pimpinan atau penguasa,
dianggap akan memiliki legitimasi bila semakin banyak
masyarakat/ rakyat menuangkan loyalitas pribadinya kepada
penguasanya. Dan oleh karenanya, kemudian pemimpin dianggap memiliki
posisi tertinggi sehingga semua kebijakannya harus dipatuhi tanpa boleh
ditentang oleh bawahannya. Asumsi mendasar inilah yang memperlihatkan
hubungan kepemimpinan dengan birokrasi di Indonesia.
Sebagai solusinya, perlu ditanamkankembali kepada PNS mengenai apa itu
hakikat penjadi seorang PNS yang sejatinya merupakan pelayan bagi masyarakat.
Selain itu perlu ditanamkan etika dan profesionalisme PNS sehingga pelayanan
kepada masyarakat semakin prima.
17 September 2012.
Semoga kelak, jika telah menjadi bagian dari abdi masyarakat, dapat
sepenuhnya mengabdi.
1 komentar:
Terima kasih informasi dan berbagi ilmu... mohon ijin bu Muamaroh Husnantiya tulisannya menjadi bahan referensi.
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^