Indonesia, Sang Zamrud Katulistiwa, sdebuah negeri kepulauan nan gemah ripah loh jinawi*. Terbentang luas dari ujung barat Sabang hingga ujung timur Merauke, membelah Sumbu Katulistiwa, menjadikannya sebuah permata hijau Katulistiwa. Indonesia laksana seorang putri cantik atau sebuah permata berharga yang dijaga oleh dua naga—Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik. Adasebuah perumpamaan, “Kayu pun akan menjadi pohon jika dibuang ke tanah”. Perumpamaan tersebut menggambarkan betapa suburnya tanah di Indonesia.
Agaknya kemakmuran dan kesuburan bumi Indonesia membuat
nenek moyang kita menjadi pribadi yang produktif dan kreatif dalam berkarya. Berbagai kebiasaan yang kian lama
kian terpatri dan menjadi budaya telah mereka hasilkan; foklor, dongeng, masakan,
bahasa, tari-tarian, pakaian adat, dan kesenian adat. Sebuah kekayaan yang
mungkin akan membuat bangsa lain menjadi iri karenanya.
Tarian-tarian Indonesia kaya akan aspek estetika yang akan
memanja setiap orang yang melihatnya. Lihat saja
keindahan gerak, keluwesan
tubuh, koordinasi indera yang sempurna dalam Tari Kecak. Sebuah tarian yang
menceritakan legenda dan mitologi-mitologi yang ada di Bali. Atau tengok saja
kecepatan gerak dan ketepatan koordinasi antarpenari dalam Tari Saman,
membuatnya terlihat indah dan menakjubkan. Masih banyak lagi aspek-aspek
estetika yang dapat kita jumpai dalam tarian Indonesia yang lain seperti Reog, Barong, Pendet, Cakalele, Seudati, Tari Piring, Tari Payung, Tari Indang, Tari Randai, Tari Lilin, Jaipong, Tari Topeng,
maupun Tarian Anging Mammiri.
Foklor Indonesia, legenda dan dongeng yang diceritakan turun
temurun, memiliki nilai sastra dan edukatif yang akan membuat setiap anak yang
mendengarnya terpana dan terkesima. Bawang Merah dan Bawang Putih, Nyi Roro
Kidul, Legenda Tangkuban Prahu, ataupun Ramayana. Cerita-cerita tersebut
memiliki nilai-nilai moral yang patut dicontoh maupun pelanggaran terhadap
norma yang harus dihindari.
Sayang amat disayang, pemuda Indonesia yang kelak akan
menjadi tumpuan kemana bangsa ini akan melangkah, mayoritas lebih menyukai dan
menganal budaya asing dibanding budaya sendiri. Mereka lebih bangga berbicara
dengan bahasa asing seperti Bahasa Inggris dibanding berbicara dengan bahasa
daerah.
Contohnya, mereka lebih bangga mengungkapkan cinta dengan
ungkapan “I love you” atau “wo ai ni” daripada “kulo tresna sampeyan” atau “holong
ni rohaki tu ho”. Mayoritas kaum muda lebih mengenal Yukata, Tatami, Samurai
dibanding dengan kebaya, selop, dan keris. Mereka lebih menyukai pizza,
spagheti, atau burger dibanding growol, cemplon, atau peyeum. Kaum muda mungkin
lebih mengenal Naruto, Sleeping Beauty, Snow White and Seven Dwarfs, atau Spiderman
dibanding Gatutkaca, Ajuna, Nyi Rara Kidul, ataupun Legenda Danau Toba. Dan
kaum muda masa kini mungkin lebih menyukai balet dan biola dibanding Reog dan
angklung.
Lantas apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan
budaya kita yang mayoritas berada di ambang kepunahan? Akankah kita bangga jika
kelak nak cucu kita tidak lagi mengenal masakan atau tarian tradisional?
Budaya kita adalah milik kita. Sudah sepantasnya kita
sebagai kaum muda turut berperan serta dalam upaya pelestarian budaya.
Sejarah membuktikan, kaum muda selalu memiliki semangat dan
partisipasi yang tiggi dalam upaya pembelaan bangsa. Mulai dari masa penjajahan
hingga masa kini, pemuda selalu menjadi tonggak perjuangan bangsa Indonesia.
Jadi, tak salah jika kita membebankan perjuangan untuk melesarikan budaya pada
kalangan pemuda.
Tapi bagaimana kita melestarikannya jika kita mengenalnya
pun tidak?
Mulailah kita mulai dari diri sendiri belajar untuk mengenal
budaya Indonesia. Dari yang kecil-kecil, yang ada di sekitar kita. Tak kenal
maka tak sayang. Banyak orang yang kini mulai cinta budata daerah setelah
mengenal dan mempelajarinya. Bahkan bangsa asing pun tak mau kalah, mereka
jauh-jauh datang ke Indonesia hanya untuk mempelajari budaya Indonesia.
Hal yang kedua yang harus kita lakukan adalah menghilangkan
paradigma bahwa budaya tradisional itu kuno dan ketinggalan zaman. Budaya
tradisonal, walaupun berasal dari zaman dan masa antah berantah, mereka
mempunyai nilai-nilai universal aplikasinya masih diperlukan hingga saat ini.
Kita harus berbangga memiliki kekayaan budaya yang melimpah.
Budaya kita, milik kita. Kalau bukan kita yang menjaganya,
siapa lagi?
Jadilah agent of culture, yang muda yang cinta budaya.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^