Sample Text

Life is like a ferris wheel. Sometimes growin up to the sky, sometimes fallin to the ground. But no matter what happened, its always interesting to be enjoyed. Because life is never ending adventure

Senin, 06 Mei 2013

Segores Kisah Cinta Pertama

Senin, 06 Mei 2013
Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kelima yang bertema cinta pertama.

Membaca tema minggu kelima ini, seketika hati saya meretas. Cinta pertama. Ah, padahal baru beberapa hari lalu saya mendapat kabar bahwa seseorang yang dulu saya sukai kini telah bersanding dengan orang lain.

Pedih? Tidak juga. Yah, beberapa orang mengatakan bahwa kami berdua sangat mirip dengan dua tokoh utama dalam Perahu Kertas karya Dee: Kugy dan Keenan. Saya kecil, cengengesan, blak-blakan, kadang kucel, dan suka menulis. Dia seniman sejati, piawai dan jago dalam menggambar. Kami sama-sama menyukai seni, namun dalam bentuk berbeda.

Bukankah pedih rasanya mengenang kisah itu? Tidak juga. Karena ternyata,
cinta pertama saya bukan pada si lelaki yang karakternya sangat mirip Keenan tersebut.

Cinta pertama, sebuah frasa yang ketika tanpa sengaja terbesit akan meghadirkan beraneka citra dalam alam pikir kita. Entah geli, bahagia, melankolis, duka, maupun lara.  Dan beragam reaksi setelah mendengar frasa tersebut: tertawa geli, tersenyum bahagia, galau berjam-jam, ingin makan enak, atau tiba-tiba ingin mati. Yah, selalu ada makna di balik kisah tentang cinta pertama.

Ada sebuah kutipan tentang cinta yang sangat saya sukai. Kata-kata yang diucapkan oleh seorang tua yang bijak dalam novel berjudul Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Orang tua bijak itu biasa dipanggil Pak Tua.  

Katanya, cinta sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sebesar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, sungai, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta

Bagaimana dengan cinta pertama saya?

Waktu itu saya masih kecil, entah berapa usia saya. Ayah mengajak saya untuk pergi ke suatu tempat. Ketika ditanya kemana, ia hanya menjawab singkat: rahasia. Pengalamannya sebagai pencinta alam yang telah melanglang buana hingga ke seluruh penjuru negeri membuatnya tahu sudut-sudut unik di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta.

Dan tibalah saya di tempat itu, Kali Kuning, sebuah sungai yang terletak di lereng Gunung Merapi. Sebuah sungai nan jernih dengan bunyi gemericik bak melodi ciptaan komposer ternama. Sungai itu berlatar pepohonan hijau tinggi nan segar dan birunya langit. Hanya ada kedamaian ketika tiba di tempat itu.

Lantas dengan iseng saya memasukkan sebuah apel dan botol minum bekal kami ke dalam air sungai. Beberapa saat kemudian, ketika saya mengambilnya, apel dan air minum itu menjadi sedingin makanan yang disimpan dalam almari es!

Dan bagai bocah, tanpa ba-bi-bu, saya langsung menceburkan diri dan bergelut bersama aliran sungai. Saya bercanda dan bercengkrama bersama riak dan bebatuan. Sungguh, tak ada kolam manapun yang dapat mengalahkan keajaiban sungai itu.

Selain kami, ada keluarga lain yang sedang mengunjungi sungai itu. Seorang ibu dan dua anak lelakinya. Kedua anak lelaki tersebut, juga melakukan hal yang sama. Tanpa tedeng aling-aling, mereka menceburkan diri ke sungai. Bersama kami, menikmati kesegaran aliran sungai tersebut.

Itulah kisah tentang cinta pertama saya. Apakah cinta pertama saya adalah si anak lelaki yang juga bermain di sungai? Bukan, bukan si anak lelaki.

Alam. Alam lah cinta pertama saya. Kala itu, sungai dan hutan hijau yang mengelilinginya telah mencuri separuh hati saya. Saya jatuh cinta pada keajaibannya, pada keindahannya, dan pada rasa tenang yang diberikan. Saya jatuh cinta pada kesegaran nafas alam. 

Ketika resah datang, hanya dengan memandang atau bercakap dengan alam, ketenangan tiba-tiba datang. Ketika gundah datang, hanya dengan mengunjungi alam, maka seketika hati ini akan bahagia. Ketika alam tersakiti, maka hati ini juga ikut tersakiti.


Tak hanya sungai. Saya benar-benar jatuh cinta pada setiap bagian alam: langit, angin, hujan, kilat, guntur, pelangi, bunga, hewan, hutan, gunung, pantai, laut. Semua bagian alam. Ketika memasuki masa—masa sekolah, saya pun mengikuti kegiatan Pramuka dan Pencinta Alam agar semakin dekat dengan alam. Ya, karena sesibuk apapun, semenyenangkan apapun, sekeren apapun kegiatan yang saya ikuti, tidak ada yang dapat menggantikan kehadiran suasana alam yang alami.

Hanya satu yang benci, ketika manusia dengan pongahnya merusak alam. Menebang pohon, mengeksploitasi sumber alam secara berlebihan, ataupun sekadar membuang sampah sembarangan. Kadang tak habis pikir, bukankah manusia hidup dengan menyesap sari-sari alam? Lantas jika mereka merusaknya, kemana manusia harus menggantungkan sumber penghidupan?

Kisah cinta saya pada alam berlanjut hingga ke bangku SMA. Masa dimana perlahan-lahan proporsi cinta itu semakin berkurang karena saya bertemu dengan manusia yang merebut perhatian saya dari alam. Ya, si seniman itu, duplikat kw tingkat 3 dari Keenan.
semasa SMA
Namun cinta saya pada alam, tak seperti cinta saya pada si lelaki itu. Cinta saya pada alam adalah perasaan yang berbeda. Seperti petuah Pak Tua: Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sebesar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, sungai, turun di gunung-gunung  tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, , lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta.

Cinta saya pada alam, tak pernah berhenti. Karena alam selalu setia, tak pernah berdusta, maupun mengingkari janji setia.


1 komentar:

Aty Elias mengatakan...

keren euyyy, alam memang patut untuk djadikan sahabat...

Posting Komentar

Tulis kritik, saran, ato komentar sesuka kamu^^